Sabtu, 19 Januari 2013

Jiwa Pengabdian Guru

Jiwa Pengabdian Guru


Di zaman era modern ini begitu banyak masyarakat mengharapkan profesi yang sederhana, tetapi menghasilkan uang yang cukup. Sebaliknya, tidak sedikit pula orang yang mengharapkan profesi yang hebat dan menghasilkan uang yang banyak. Namun, dalam kenyataannya sebuah profesi yang kita geluti terkadang tidak sesuai dari niat dan keahlian kita masing-masing.
Kita ambil saja contoh profesi guru. Akhir-akhir ini profesi guru sangat diminati. Mengapa? Tentu jawabannya bukan lain karena profesi guru sudah menjanjikan profit bahkan masa depan yang pasti. Artinya, seiring pemberlakuan sertifikasi guru oleh pemerintah lewat Kementerian Pendidikan Nasional dengan dikeluarkannya UU Guru dan Dosen mengindikasikan bahwa profesi guru nyatanya sudah terjamin. Pengaturan itu terlihat pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Pada Bab III pasal 7 ayat 1 “profesi guru dan profesi dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip tertentu”. Akan tetapi, persoalannya sekarang apakah dengan adanya kebijakan tersebut masalah kekuarangan guru di desa terpencil akan dapat teratasi? Tentu jawabannya adalah tidak.
Secara umum pendidikan di Indonesia belum mengalami pemerataan pendidikan. Artinya, masih banyak daerah-daerah terpencil di Indonesia yang mengalami kekurangan guru. Padahal kita ketahui bahwa gurulah yang akan mengubah paradigma siswa yang tidak paham menjadi paham, yang tidak mengerti menjadi pengerti, dan yang tidak tahu menjadi tahu. Dengan kata lain, tanpa kehadiran seorang guru maka profesi-profesi yang lain tidak akan berkembang. Lewat pengetahuan guru semua profesi yang kelak digeluti peserta didik akan dapat dipahami dengan baik.
Sebenarnya kekurangan guru di Indonesia adalah alasan klise yang sering kita dengarkan. Kalau boleh beropini, tentu dengan begitu banyaknya guru-guru dan bahkan calon-calon guru yang sedang mengikuti perkuliahan tidak akan mungkin negara Indonesia yang berpenduduk padat kekurangn guru. Hanya saja menurut hemat saya, kekuarangan guru tersebut diakibatkan jiwa pengbdian guru yang tidak ada. Kita lihat saja di beberapa sekolah di perkotaan untuk satu bidang studi saja ada, beberapa guru sampai-sampai ada guru yang tidak mendapatkan jam pelajaran sebab kehabisan jam pelajaran. Sebaliknya, guru di pedesaan terpencil sangat kekurangan guru bahkan guru tersebut menjadi satu-satunya guru di sekolah itu. Dia menjadi guru sekaligus menjadi kepala sekolahnya.
Kondisi itu sebenarnya sudah digambarkan lewat film “Denias, Senandung di atas awan”. Film tersebut secara jelas menggambarkan bahwa betapa sangat kurangnya tenaga pendidik di desa tersebut. Film tersebut menggambarkan kondisi salah satu desa Denias di Papua. Sangat miris melihanya mengingat anak-anak di sana membutuhkan guru. Film tersebut hanyalah satu film yang menggambarkan kondisi pendidikan yang terabaikan. Penulis juga yakin masih banyak daerah-daerah terpencil lainnya di wilayah Indonesia yang belum terpublikasi.
Sebenarnya Kementerian Pendidikan Nasional sudah mengambil langkah kebijakan dalam meminimalkan kekurangan guru tersebut. Misalnya, melalui Program Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM-3T), Program Pendidikan Profesi Guru Terintegrasi dengan Kewenangan Tambahan (PPGT), Program Kuliah Kerja Nyata di Daerah 3T- dan PPGT (KKN-3T PPGT), Program Program Pendidikan Profesi Guru Terintegrasi Kolaboratif (PPGT Kolaboratif), Program S-1 Kependidikan dengan Kewenangan Tambahan (S-1 KKT). Semua program tersebut sebagai bentuk solusi pemerintah atas kekurangan guru di daerah terpencil. Langkah itu patut kita apresiasi dengan tulus. Akan tetapi, alangkah baiknya jika kita sendiri yang mau mengabdi di daerah- daerah yang dibutuhkan.
Memang tidak banyak yang akan bersedia demikian. Sangat jarang kita temui sosok Butet Manurung yang mendedikasikan dirinya sebagai guru anak suku pedalaman Jambi yang mengemban pengabdian dengan tulus. Paling tidak bagi kita calon-calon guru sudah memiliki niat yang tulus jika kelak lulus dari perkuliahan kita. Dalam hati kita sudah tertanam sejak dini bahwa kelak akan mengabdi mengjar di desa terpencil.
Persoalan kekuarangan guru di pedesaan tidak akan mudah di atasi. Secara teoretis memang mudah, tetapi secara praktik di lapangan sangat sulit. Ada banyak alasan-alan yang menyebabkan guru bahkan calon-calon guru tidak mau bertugas di pedesaan. Berikut akan dijelaskan satu per satu.
1. Alam pedesaan yang tidak bersahabat, maksudnya ketika kita hendak memasuki sebuah desa terpencil tentu permasalahan utama yang kita hadapi adalah alam pedesaan yang tidak bersahabat. Alam yang dimaksudkan di sini bukan persoalan pemandangannya yang tidak indah, melainkan persoalan akses jalan menuju desa tersebut sangat sulit. Hal ini bisa saja menjadi salah satu penyebab tidak maunya calon guru untuk mengajar di desa tersebut. Jika pun mereka mau, kondisi itu tidak akan lama bertahan. Mereka pasti hanya memanfaatkan peluang mendapatkan pekerjaan dan kemudian mengurus surat kepindahan tugasnya ke perkotaan.
2. Tidak adanya jaringan listrik dan telepon, maksudnya ketidakadaan jaringan listrik dan telepon di desa terpencil tentu menjadi alasan juga. Terkhusus bagi mereka yang memang selama ini sudah terbiasa dengan penerangan dan alat komunikasi. Maka ketika mendengar pedesaan yang tidak ada jaringan listrik dan telepon sudah tentu pasti tidak berminat.
3. Sulitnya beradaptasi dengan budaya daerah setempat, maksudnya ketika kita sudah berada di sebuah desa tentu kita harus memahami budaya setempat agar kita tidak salah. Sulitnya beradaptasi dengan budaya itu disebabkan oleh ketidaktahuan kita akan budaya mereka. Walaupun kita sudah tidak mengetahui budaya mereka, kita terkadang malas mempelajari budaya mereka bahkan sengaja tidak mau tahu mempelajari budaya mereka. Sikap seperti ini juga akan menyebabkan ketidaktertarikan kita untuk mengabdi di daerah tersebut.
Dari tiga alasan tersebut sebenarnya kunci mengatasi alasan tersebut adalah niat yang tulus di dalam hati kita. Guru-guru kita belum mempunyai niat tulus sehingga alasan-alasan di atas lebih mendominasi pemikiran mereka. Pada akhirnya, rasa jiwa pengbdian guru itu menjadi sirna. Walaupun pemerintah mengiming-imingi gaji yang banyak selama bertugas di tanggung pemerintah, guru tersebut tidak akan maksimal mengajar di tempat itu.
Bulan pertama sampai bulan ketiga mungkin rasa semangat guru itu masih berkobar. Namun, seiring lamanya waktu semangat itu bisa saja hilang bagaikan debu diterpa angin, sirna begitu saja. Mengapa itu terjadi? Yang jelas pada dasarnya calon guru yang bersedia mengajar di pedesaan tidak memahami tugas dan fungsinya sebagai guru dalam bentuk pengabdian masyarakat. Pada prinsipnya mereka hanya berorientasi pada uang. Ketika uang sudah menjadi pilihan pertama, jelas pada saat mengajar bukan lagi dari hati kita, melainkan dari pemikiran kita.
Hendaknya pemerintah melakukan terobosan-terobosan terbaru. Misalnya saja, pemerintah melakukan rolling guru minimal satu tahun. Tentunya sebelum rolling itu dilakukan sudah diadakan pelatihan-pelatihan yang menunjang hal itu. Guru yang di kota dipindahkan sementara ke desa dan sebaliknya. Artinya, perpindahan yang dimaksudkan tidak secara kolektif, tetapi secara parsial. Tergantung guru bidang studi apa yang paling dibutuhkan. Jika minimal pergantian itu dilakukan selama satu tahun, pasti peserta didik yang ada di pedesaan sedikit banyaknya mendapat pengetahuan baru dan pengalaman baru dengan belajar yang menyenangkan. Sebaliknya, guru yang sudah di kota akan lebih belajar lagi mengenai proses pembelajaran di kota sehingga sewaktu kepindahannya akan mendapat metode pengajaran yang baru.

0 komentar:

Posting Komentar

 

NILEK

BLOCKGRANT

NIPUK

Copyright © DPC HISPPI KABUPATEN MUSI RAWAS